Fintech P2P Merugi, Perbankan Perketat Pemberian Kredit
Laporan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan jika sepanjang bulan Januari sampai dengan Maret 2024, industri Pinjaman Online (Pinjol) fintech P2P lending mengalami kerugian. Ini berbeda dengan laporan di periode yang sama tahun lalu, yang mencatatkan laba.
Laporan bulan Maret 2024, besaran kerugian setelah dihitung pajak dari P2P lending mencapai Rp27,32 miliar. Sementara di bulan Januari tercatat rugi sebesar Rp97,56 miliar dan bulan Februari Rp135,61 miliar.
Tentunya, kondisi kerugian yang dialami industri pinjol ini bisa menjadi ‘alarm’ untuk perbankan yang selama ini menjadi penyalur kredit atau channeling. Sekarang ini, sudah banyak bank, khususnya yang berbentuk digital yang menjadi kreditur fintech lewat channeling.
Di bulan Februari lalu, bahkan banyak fintech yang mengalami gagal bayar. Pihak OJK kemudian meminta kepada perbankan agar berhati-hati saat memberikan kredit kepada perusahaan-perusahaan fintech.
Ediana Rae selaku Kepala Pengawas Perbankan OJK menegaskan jika pihaknya senantiasa melakukan pengawasan terhadap tren fintech, utamanya yang menggunakan skema channeling oleh bank. Itu juga mencakup bank digital.
Adapun fokus pengawasan yang dilakukan yakni pada analisa risiko serta evaluasi eksposur bank guna memastikan seluruh praktik manajemen risiko bisa dipastikan dengan baik, begitu juga dengan kecukupan pencadangan.
Selain itu, pihak OJK juga mendorong bank supaya senantiasa melakukan diversifikasi serta peningkatan kualitas portofolio kredit. Begitu juga soal transparansi dan komunikasi terhadap nasabah dan juga pihak-pihak terkait lainnya, sehingga bisa tercipta kepercayaan dan stabilitas.
Kondisi banyaknya perusahaan fintech yang gagal bayar itu membuat perbankan terpaksa menahan channeling. Para bankir menyatakan jika mereka kini kian selektif dalam channeling kredit kepada perusahaan fintech.
Terpisah, Presiden Direktur Bank CIMB Niaga Lani Darmawan menjelaskan jika pihaknya melakukan suitability dan screening assessment secara berkala terhadap rekanan sebelum melakukan kerjasama.
“Parameter yang digunakan juga bermacam-macam ya, sesuai dengan jenis bisnisnya. Jadi tidak semata hanya dari sisi potensi keuntungan saja, mengingat perusahaan rintisan, utamanya fintech membutuhkan waktu untuk bisa mendapat keuntungan,” terang Lani kepada wartawan CNBC Indonesia, Rabu (22/5).
Bank Oke Indonesia pun demikian, di mana sejak awal mereka begitu selektif dalam menjalin kerjasama bersama perusahaan fintech. Evaluasi terhadap kinerja perusahaan yang bekerjasama dilakukan secara rutin.
“Apabila dari hasil evaluasi ternyata kinerja fintech tersebut kurang baik, maka Bank bakal menghentikan kerjasama,” ujar Direktur Kepatuhan DNAR Efdinal Alamsyah.
Efdinal menambahkan, sampai dengan 21 Mei 2024, total P2P channeling di Bank Oke dilaporkan ada sebesar Rp34 miliar. Jumlah ini mengalami penurunan jika dibandingkan dengan laporan per bulan Desember 2024, yang sebesar Rp43 miliar.
Penurunan tersebut bukan sesuatu yang aneh, lantaran Bank Oke memutus kerjasama sejumlah perusahaan fintech, yang kualitas kreditnya dinilai kurang baik atau persentase rasio kreditnya bersama. Istilahnya yakni non-performing loan atau NPL berada di level yang tinggi.
Pinjaman Sektor Produktif Merosot
Sementara itu, penyaluran pinjaman fintech P2P lending untuk sektor produktif juga tercatat menurun. Merujuk pada data statistik milik OJK, pada bulan Maret 2024 penyaluran tersebut hanya mencapai Rp7,65 triliun.
Jumlah tersebut diketahui hanya sebesar 33,61% dari total penyaluran dan jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya terjadi penurunan sebesar 9,91%, di mana di bulan Februari ada sebanyak 43,52% atau Rp9,09 triliun penyaluran pinjaman ke sektor produktif.
Apa Reaksi Kamu?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow