Kripto Bakal Dikenai Pajak Dan Berpotensi Jadi Agunan Bank
Beritadata - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedang mengkaji penyesuaian pajak baru untuk transaksi kripto selama masa transisi pengawasan yang akan dialihkan dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti). Pengawasan terhadap kripto dijadwalkan akan dialihkan ke OJK pada awal tahun 2025.
Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital, dan Aset Kripto OJK, Hasan Fawzi, menyatakan bahwa untuk rencana pengenaan pajak baru ini, pihaknya akan bekerja sama dengan Kementerian Keuangan.
Saat ini, pajak atas mata uang kripto diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan RI No. 68/PMK.03/2022 dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68 Tahun 2022, dengan tarif sebesar 0,1 persen dari nilai aset kripto. Pajak ini termasuk dalam kategori PPh Pasal 22 Final.
"Saat ini, karena kripto masih dikategorikan sebagai kelas aset komoditas, maka mengikuti aturan perpajakan yang telah ditetapkan dalam PMK. Hingga pengawasan beralih ke OJK, tarif pajak ini masih akan tetap berlaku," kata Hasan di Hotel Pullman, Jakarta, Jumat (9/8), mengutip dari CNBC Indonesia.
Ia menambahkan bahwa setelah pengawasan resmi dialihkan ke OJK, kemungkinan besar akan ada perubahan dalam kategori dan definisi aset tersebut, mengingat nantinya kripto akan diakui sebagai aset keuangan digital.
"Akan ada perubahan dalam kategorisasi dan definisi kelompok aset ini. Sebelumnya, payung hukumnya adalah peraturan tentang perdagangan berjangka komoditi. Namun, ke depannya, kita akan mengakuinya sebagai aset keuangan digital. Di masa depan, kami tentu akan membuka diskusi lebih lanjut terkait pajak kripto dengan Kementerian Keuangan," jelasnya.
Selain pajak, OJK juga akan mengatur mengenai persyaratan minimum permodalan untuk aset kripto. Meski begitu, implementasinya akan dilakukan secara bertahap, dimulai dengan angka yang telah ditetapkan oleh Bappebti, yaitu minimal Rp100 miliar.
"Dengan mempertimbangkan apa yang telah diterapkan saat ini, tampaknya modal minimum yang ditetapkan oleh Bappebti sebesar Rp100 miliar sudah cukup memadai," ujarnya.
Bisa Jadi Agunan?
Tidak lama lagi, pengawasan perdagangan aset kripto akan dialihkan ke OJK. Berdasarkan mandat UU P2SK, pengawasan ini akan berpindah dari Bappebti ke OJK pada Januari 2025.
Menjelang peralihan ini, OJK telah meluncurkan peta jalan (roadmap) untuk pengembangan dan penguatan inovasi teknologi sektor keuangan, aset keuangan digital, dan aset kripto untuk periode 2024-2028. Peta jalan ini diharapkan dapat menjadi pedoman bagi pengembangan industri IAKD, sehingga manfaatnya dapat dirasakan secara lebih luas tidak hanya di sektor jasa keuangan, tetapi juga dalam perekonomian nasional. Selain itu, peta jalan ini juga bertujuan untuk mendukung pendalaman pasar industri jasa keuangan dan memberikan akses keuangan yang lebih luas bagi pelaku usaha dan masyarakat.
Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital, dan Aset Kripto OJK, Hasan Fawzi, menyebutkan bahwa industri kripto akan bersinergi dengan industri jasa keuangan lainnya. Ia juga membuka kemungkinan adanya kerja sama antara industri kripto dengan perbankan.
Saat ditanya apakah aset kripto nantinya bisa dijadikan agunan, Hasan menjawab bahwa hal tersebut belum masuk dalam rencana. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan perbankan di Indonesia yang berfungsi sebagai lembaga intermediasi, bukan sebagai universal banking. Namun, ia tidak menutup kemungkinan bahwa kripto bisa menjadi agunan di masa depan.
"Untuk saat ini, hal itu belum ada dalam rencana pengawasan perbankan. Namun, kita akan terus memantau perkembangannya. Sebab, perbankan kita berfungsi sebagai lembaga intermediasi, bukan sebagai universal banking. Jadi, tentu kita akan terus memantau perkembangan ini bersama rekan-rekan di pengawasan perbankan" ungkap Hasan di Hotel Pullman, Jakarta, Jumat (9/8).
Oleh karena itu, kepemilikan aset kripto di perbankan masih belum dimungkinkan, karena perbankan di Indonesia belum berfungsi sebagai universal banking. Namun demikian, bank dapat berperan sebagai lembaga intermediasi dalam perdagangan aset kripto. Hasan menjelaskan bahwa saat ini para pedagang fisik aset kripto berencana menggunakan Self Regulatory Organization (SRO). Dalam konteks ini, bursa kripto dan kliring dapat memanfaatkan layanan dari perbankan.
"Dalam peran sebagai bank penyimpan, mitra pedagang aset kripto disebut sebagai Penyedia Dana Margin. Ada juga bank yang menyediakan jasa pembayaran dan lain-lain. Jadi, industri ini akan terus bersinergi dengan layanan-layanan dari industri lain yang diperlukan," jelas Hasan.
Apa Reaksi Kamu?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow